Rabu, 11 Februari 2015
ADAT
KARYA YULIANA FITRI
Para Pelaku:
WATI Gadis
berusia 21 tahun
IBU Janda
berumur 45 tahun
KAKEK Laki-laki
berusia 70 tahun
PANGGUNGNYA TERDIRI DARI SUASANA RUANG TAMU YANG SEDERHANA,
TERDAPAT TV BERUKURAN 14 INCI, DISAMPING SEBELAH KANAN DARI RUANG TAMU TERDAPAT
MESIN JAHIT LAMA. DI SEBELAH KANAN MESIN JAHIT TERGANTUNG KAIN-KAIN YANG BELUM
DIJAHIT, PERALATAN MENJAHIT, DAN LIPATAN BAJU YANG SUDAH SIAP DIJAHIT.
WATI DUDUK DIRUANG TAMU SAMBIL MENONTON TV, SESEKALI IA
MEMPERHATIKAN IBUNYA, SEDANGKAN IBU TENGAH SIBUK MENJAHIT BAJU, DAN DARI DALAM
KAMAR TERDENGAR SUARA BATUK KAKEK.
Wati Masih
menjahit baju bu? (Menengok ke arah Ibu)
Ibu Ya, mungkin sampai shubuh
(melanjutkan jahitannya tanpa menoleh ke arah wati duduk)
Wati Ibu selalu menerima banyak
tawaran menjahit, padahal Ibu tahu kalau jahitan yang ibu terima sudah
menumpuk.
Ibu Sebaiknya
kau tidur (menunjuk wati)
Wati Masih
terlalu sore kalau disuruh tidur.
Ibu Sudah jam 9 malam kau bilang
terlalu sore? Besok kau berangkat kuliah pagi kan?
Wati Baru jam 9 bu, jam 11 pun aku
belum mengantuk. Lebih baik Ibu biarkan aku disini dulu, siaran TV hari ini
bagus sekali, semua orang sibuk memberitakan Jokowi sang presiden yang katanya
luar biasa. Haha sungguh basi.
Ibu Telinga Ibu sudah bosan mendengar
berita perihal Jokowi, karena sekarang kita harus menerima kebijakan dari mereka
yang membuat kita semakin susah, kini Ibu menanggung semuanya.
Wati Maksud
ibu?
Ibu Ya, kebijakan mereka untuk
menaikkan harga BBM, membuat semua harga sembako naik, kebutuhan kau juga, tidakkah
mereka berfikir dengan keadaan ekonomi masyarakat kita yang lemah ini? Rasanya
zaman ini dijajah kembali oleh orang-orang yang berada di posisi tinggi.
Wati Ibu terlalu melebih-lebihkan.
Ibu Apa kau bilang?
Melebih-lebihkan? Dengar ya wati, kerjaan kau setiap hari hanya menonton di
depan tv, lalu pergi kuliah, makan, pergi dengan teman-temanmu dan tidur. Lalu
dengan mudah kau bilang Ibu mu ini melebih-lebihkan sesuatu?
Wati Nah? Kenapa Ibu jadi marah?
Ibu Kau belum tahu susahnya hidup
wati.
Wati (Wati menengok ke arah Ibu) Aku
sudah beranjak dewasa Bu, semenjak meninggalnya Bapak, kita hidup susah hingga
sekarang. Aku sudah merasakan susahnya hidup dari awal aku dilahirkan ke dunia
ini.
Ibu (Ibu menghentikan pekerjaan
menjahitnya, ia terdiam cukup lama)
Wati (Wati mematikan tv, lalu
menengok ke arah ibu)
Maaf Bu (dengan suara terbata-bata) Wati tidak bermaksud...
Maaf Bu (dengan suara terbata-bata) Wati tidak bermaksud...
Ibu Kita menyalahkan takdir nak.
Wati Tidak bu, kita belum ikhlas
menjalani ini semua.
Ibu Bapakmu sudah tenang di alam
sana, ia tidak perlu bersusah payah memikirkan kita lagi. Sekarang semuanya
menjadi tanggung jawab Ibu.
Wati Maaf wati membuat Ibu jadi
sedih.
Ibu Ibu hanya mengingat Ayahmu
saja, tidakkah kau rindu dengannya?
Wati Rindu sekali bu, wati ingin kita
berkumpul bersama. Wati ingin tahu rasanya dipangku seorang ayah, dibimbing dalam
hal apapun, becanda bersama.
Ibu Ya nak, kini kita hidup berdua.
Betapa Ibu susah payah mencari uang demi sesuap nasi, untuk kuliahmu, dan juga
Ibu harus merawat kakek yang sakit-sakitan, karena itu Ibu menerima banyak
tawaran menjahit. Supaya semua kebutuhan kita terpenuhi.
Wati Iya, wati mengerti Bu, tapi kan
tidak harus menyiksa diri dengan menerima banyak tawaran menjahit...
Ibu Jika Ibu tidak menerima semua
tawaran menjahit, kita dapat uang membeli kebutuhan sehari-hari dari mana wati?
Lalu untuk beli obat kakek bayar pakai apa? Oleh sebab itu Ibu bekerja sampai
larut malam, agar kebutuhan kita terpenuhi. Kau juga, harus berhemat dari
sekarang.
Wati Bagaimana berhemat bu? kalau
uang jajan wati dibatasi dengan kebutuhan wati? Ibu ini bagaimana, jelas harga
dipasar semuanya sudah naik, ya jelas uang jajan wati harus dilebihkan.
Ibu Ibu capek.
Wati Seperti biasa, mengalihkan
pembicaraan.
Ibu Bagaimana kuliahmu?
Wati Masih sibuk revisi bu.
Ibu Sebentar lagi kau akan wisuda,
kau bertambah dewasa, tidak lama lagi kau akan merasakan kerasnya dunia luar.
Apa rencanamu setelah ini?
Wati Bekerja bu.
Ibu Tentu, lalu?
Wati Maksud ibu? (memperhatikan Ibu
dan terheran-heran)
Ibu Kau tidak ingin menikah?
Wati Kenapa Ibu bertanya hal itu?
Ibu Kau sudah beranjak dewasa
nak, sudah sewajarnya kau memiliki pasangan hidup, agar ada seseorang laki-laki
yang mendampingimu.
Wati Sebenarnya sudah ada bu (sedikit
takut mengatakannya)
Ibu (Penasaran) Kau tidak becanda
kan?
Wati Tidak bu, Ibu tidak marah?
Ibu Tentu tidak kalau kau
mengenalkan calonmu kepada Ibu, Ibu ingin tahu apakah dia anak baik atau tidak.
Wati Tidakkah terlalu cepat bu?
Ibu Ibu hanya ingin tahu siapa
orangnya.
Wati Sebelum Ibu bertemu dengan dia,
Ibu harus tau sesuatu (mendekati ibu)
LALU SUASANA HENING BEBERAPA SAAT, SESEKALI SUARA BATUK KAKAK
TERDENGAR DARI ARAH KAMAR. WATI MENDEKATI IBU, IBU BERANJAK DARI MESIN
JAHITNYA. MEREKA SUDAH DUDUK BERDUA DIKURSI TAMU.
Ibu Apa
itu nak? Ceritakan pada ibumu.
Wati Calon
ku itu orang Pariaman bu (Wati berbicara terbata-bata)
Ibu Apa?
(Ibu kaget dan beranjak dari kursinya)
Wati (Mendekati Ibu, dengan takut ia
kembali berbicara) Sebenarnya wati tidak berani harus berterus terang seperti
ini kepada Ibu. Tapi walau bagaimanapun, Ibu harus mengetahui ini.
Ibu Tidak, tidak wati. Kau tidak
Ibu izinkan dekat dengan orang Pariaman itu.
Wati Kenapa bu? Kenapa tidak boleh?
Ibu belum tahu orangnya kan? Dia anak baik-baik bu, pekerja keras dan rajin
beribadah. Bukankah itu sudah lebih dari yang Ibu inginkan.
Ibu Tentu kau salah, kau tahu
adat di kampung kita? Dan kau tahu juga adat mereka? Tidak pernahkah kau
berfikir sampai kesana? (dengan suara yang lebih keras dari biasanya)
Wati Wati mengerti bu, tapi itu semua
bukan berarti memisahkan 2 orang yang saling mencinta kan?
Ibu Apa kau katakan? Cinta?
(menyindir)
Wati Bu, tolong mengerti...
Ibu Wati, adat orang pariaman itu
dengan adat kita jauh berbeda, berbanding terbalik, kau harusnya yang mengerti!
Wati Tapi itu semua pasti bisa
diselesaikan melalui kesepakatan dan musyawarah.
Ibu Tidak semudah itu nak.
Wati Kenapa adat mempersulit kita?
Ibu Entahlah, pokoknya Ibu
tegaskan pada kau, jangan sekali-kali kau berharap Ibu akan memberimu izin
untuk bersama dengan anak Pariaman itu.
Wati Bagaimanapun wati tetap ingin
bersama dia bu, keputusan wati sudah bulat, hanya saja wati baru berani
mengatakan ini kepada Ibu.
Ibu Kau memang anak yang tidak
tahu diri wati, kau harusnya sadar dengan kehidupan kita yang sekarang, untuk
biaya sehari-hari saja kita sudah kewalahan, apalagi untuk menjemput orang
pariaman itu? Tidak ada cerita untuk itu.
Wati Ibu jangan egois, bagaimana
dengan perasaan wati bu?
Ibu Bukan Ibu yang egois, adat
sudah menentukan semuanya.
Wati Peduli apa sama adat! Hidup
tanpa adatpun sama saja bu.
Ibu Hati-hati kau bicara wati?
Tidak sepatutnya kau berbicara seperti itu. Inikah yang kau pelajari selama
ini, sia-sia Ibu rasanya menyekolahkanmu hingga kuliah seperti sekarang,
ternyata ini hasil keringat Ibu selama ini (Ibu menangis)
IBU KEMBALI DUDUK DI KURSI RUANG TAMU, WATI MASIH BERDIRI DI
DEPAN MEJA TAMU.
Ibu Nak, adat pariaman itu memakai
uang jemputan dan uang hilang, kalau mereka meminta uang jemputan, apa yang
harus kita lakukan? Uang dari mana nak? Kau tahu kan Ibu mu tidak memiliki
tabungan, hanya harta warisan pusaka tinggi yang kita punya nak, itupun kita
tidak berhak menjual harta ini, karena yang berhak menjual harta ini yaitu
mayat terbujur atas rumah, rumah gadang ketirisan, gadis terlampau dewasa yang
belum menikah dan membangkit batang terendam.
Wati Tapi bu, kita juga punya adat
kan?
Ibu Itu masalahnya nak, adat kita
memiliki isi sasuduik, isi sasuduik itu untuk kebutuhan kamar kau juga
nantinya. Dalam adat kita, tidak ada yang namanya membeli laki-laki.
Wati Haruskah kita berpatokan kepada
adat bu? Kenapa adat memisahkan seseorang.
Ibu Kau harus tahu nak, adat kita
sudah turun temurun dari nenek moyang kita. Tidak seorangpun yang berhak melanggar
adat nagari kita.
Wati Tapi agama tidak pernah membuat
aturan seperti itu kan bu? Kenapa kita harus berpatokan kepada adat yang
semata-mata hanya diatur oleh manusia itu sendiri.
Ibu Kau tidak usah
berbelit-belit, sudah larut malam, kau mencari perkara saja mengajak berdebat
sampai selarut ini.
Wati Masih jam 10 bu, masih ada
banyak waktu untuk kita bercerita.
Ibu Baiklah.
Wati Lalu wati harus bagaimana bu?
Ibu Masih banyak laki-laki lain
diluar sana yang mau menerimamu dengan tulus nak!
Wati Tidak bu!
Ibu Lalu apa maumu?
Wati Aku tetap menginginkannya bu.
Ibu Sekali lagi kau berbicara seperti
itu, jangan kau sapa Ibu lagi!
IBU BERANJAK PERGI HENDAK MENUJU KE TEMPAT MENJAHITNYA. LALU
LANGKAHNYA TERHENTI MENDENGAR WATI BICARA DENGAN SUARA KERAS.
Wati Terserah Ibu, ini hidupku, aku
yang lebih berhak menentukan dengan siapa aku nantinya.
Ibu Teganya kau berbicara seperti
itu nak, ini balasanmu terhadap Ibu? Ini yang Ibu dapatkan dari gadis kecil
Ibu? Ibu tidak menyangka kau akan seperti ini.
Wati (Mendekati Ibu) Wati minta maaf
bu, wati tidak bermaksud menyakiti hati Ibu.
IBU KEMBALI BERJALAN MENUJU TEMPAT MENJAHIT. WATI DUDUK
DIKURSI TAMU, KEMUDIAN MUNCUL KAKEK DARI ARAH KAMAR.
Ibu Sudahlah, tinggalkan Ibu
sendiri, Ibu ingin melanjutkan jahitan ini. Lebih baik kau istirahat.
Kakek Hey... ada apa ribut-ribut?
Kalian mengganggu tidurku saja.
Ibu Tidak ada apa-apa bah, Abah
istirahatlah. Maaf sudah mengganggu istirahat abah.
Kakek Tidak, rasa kantuk hilang karena
keributan kalian. Apa yang kalian permasalahkan? Aku dengar dari tadi ada yang
membahas tentang adat.
IBU MENDEKATI KAKEK, IBU MENARIK NAFAS PANJANG, KEMUDIAN
DUDUK BERSAMA DIRUANG TAMU.
Ibu Begini bah, Anakku ini sudah
beranjak dewasa, dia sudah memiliki kekesih.
Kakek (Batuk-batuk)
Wah bagus, hebat cucuku. Kau telah beranjak dewasa, cucuku yang dulu masih ingusan kini sudah memikat hati laki-laki. Hahaha.. (batuk) aku jadi ingat kisah dengan nenekmu.
Wah bagus, hebat cucuku. Kau telah beranjak dewasa, cucuku yang dulu masih ingusan kini sudah memikat hati laki-laki. Hahaha.. (batuk) aku jadi ingat kisah dengan nenekmu.
Wati (Wati memperhatikan kakek,
suasana gaduh berubah menjadi tenang)
Kakek Dulu sewaktu kakek masih muda,
kakek salah satu pria tampan yang di gilai banyak wanita, dan nenekmu, nenekmu
adalah kembang desa dimasa itu. Kami bertemu di acara gelanggang siang itu,
pandangan pertama kakek langsung jatuh cinta pada nenekmu. Kau tahu apa yang
kakek katakan pertama bertemu dengan nenekmu?
Wati Tidak tahu. Memangnya apa yang
kakek katakan?
Kakek (Kakek tertawa kegirangan,
sesekali kakek batuk)
Kakek katakan, binaran matamu menyejukkan hatiku, senyummu bagaikan embun dipagi hari, dan rambutmu bagaikan sutra yang begitu lembut. Lalu nenek tersipu malu, dan akhirnya kakek dan nenek jalan berdua. Begitu sederhana, namun membekas dihati.
Kakek katakan, binaran matamu menyejukkan hatiku, senyummu bagaikan embun dipagi hari, dan rambutmu bagaikan sutra yang begitu lembut. Lalu nenek tersipu malu, dan akhirnya kakek dan nenek jalan berdua. Begitu sederhana, namun membekas dihati.
Wati Indah sekali kek, persis dengan
yang ku alami.
Ibu (Menyeringis)
Kakek Lalu apa yang membuat Ibumu
marah?
Wati Adat kek.
Kakek Maksudnya?
Ibu Kekasih yang dikatakannya itu
orang Pariaman bah, bagaimana aku tidak marah kalau dia seenaknya saja mencari
pasangan. Mau dibeli pakai apa orang Pariaman itu?
Wati (hanya bisa diam dan memelas ke
kakeknya)
Kakek Jadi itu yang kalian ributkan
dari tadi? Permasalahan sepele begitu kalian buat rumit?
Ibu Maksud abah?
Kakek Jadi begini, adat kita dengan
adat orang pariaman itu memang berbanding terbalik, adat kita perempuannya di “isi
sasuduik”, adat orang pariaman laki-lakinya dijemput dan ada namanya uang
jemputan. Sebenarnya kedua adat ini tidak merugikan, keduanya sama-sama
menguntungkan untuk kedua belah pihak, hanya saja untuk menyelesaikan perbedaan
ini tergatung bagaimana cara “niniak mamak” menyikapinya.
Wati Berarti tidak ada masalah dengan
hubungan wati dengan orang pariaman itu kek?
Ibu Ibu tetap tidak setuju.
Wati Kenapa bu? Ibu kan belum kenal
orangnya.
Kakek Tidak sepatutnya kau bilang tidak
setuju nak, cucuku ini sudah beranjak dewasa, dia bebas memilih dengan siapa ia
akan hidup, ia yang akan menjalani rumah tangga.
Ibu Iya abah, aku mengerti, tapi
ini demi kebaikan wati juga.
Wati Kebaikan apa bu? Kebaikan karena
memisahkan dua orang yang saling menyayang, seperti Tuhan memisahkan Ibu dengan
Ayah?
Ibu Semakin lancang kau terhadap
Ibumu nak, hanya karena laki-laki pilihanmu kau tega melawan Ibu (Ibu menangis)
Wati Sekarang terserah apa kata Ibu,
wati hanya mengatakan apa yang wati harapkan, itu kan yang Ibu tanya dari awal.
Wati tidak mau berdebat lagi, kakek juga tidak usah mengiyakan apa kata Ibu.
(Wati menangis dan berjalan menuju kamar)
(Wati menangis dan berjalan menuju kamar)
SUASANA HENING BEBERAPA SAAT, IBU DAN KAKEK MASIH DENGAN
POSISI TADI.
Kakek Kau
dengar apa yang di katakan anakmu?
Ibu Ya, aku tidak menyangka sama
sekali ia akan selancang itu kepada Ibunya.
Kakek Kau dan anakmu sama-sama keras
kepala, hanya mengikuti kemauan sendiri. Sekarang kau lihat akibatnya dari
keegoisanmu. Bagaimanapun kau juga tidak bisa melarang dia untuk tetap dekat
dengan orang Pariaman itu. Satu yang harus kau tahu, adat tidak memisahkan dua
pasang kekasih!
Ibu Ya, aku mengerti. Sekarang
semua aku serahkan pada dia, lagian pula dia masih memiliki waktu untuk
memilih.
Kakek Nah, memang begitu seharusnya.
Ibu Abah istirahatlah lagi, aku
akan melanjutkan menjahit baju hingga shubuh.
KAKEK BERJALAN MENUJU
KAMARNYA SAMBIL MEMANGGIL WATI.
Kakek Wati, kau tidak usah khawatir,
adat tidak memisahkan cinta, berbahagialah kau cucuku.
TAMAT
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar