Rabu, 11 Februari 2015

MK DRAMATURGI POST REALIS

1.      Review singkat realisme
Realisme dalam teater yaitu dapat menciptakan sesuatu di atas panggung seperti “kenyataan” yang ada, menciptakan ilusi di atas panggung seolah-olah penonton menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari yang kemudian dituangkan kedalam cerita diatas panggung. Begitupun dengan akting realis, dalam memerankan tokoh dinaskah realis, akting yang disuguhkan haruslah seperti manusia dikesehariannya, memainkan tokoh, blocking, movement, gestur dan karakter dengan natural dan wajar seperti yang ada dilingkungan masyarakat
Aliran realisme menampilkan sisi lain kehidupan yang biasanya jarang diketahui masyarakat umum. Ataupun permasalahan hidup yang terjadi pada individu namun tidak diketahui masyarakat. Realisme menyajikan gambaran nyata dari kehidupan seperti naskah yang berceritakan tentang konflik kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat dengan satu kurun waktu yang sama.
Realisme, seperti gerakan seni lainnya, senantiasa bergerak dan berkembang. Awal gagasan realisme dalam teater adalah keinginan untuk menciptakan ilusion of reality dipanggung. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa realisme awal ingin membuat penontonnya lupa bahwa mereka sedang menonton drama. Untuk itu, adegan dalam kamar tidak lagi cukup ada layar yang diberi gambar, akan tetapi perlu diciptakan kamar yang sebenarnya. Inilah yang mengawali tumbuhnya realisme: convention of the fourth wall. Tampaknya, realisme ingin menyajikan kehidupan langsung dipanggung.[1]
Realisme dalam teater berkembang sejak 1850-an di Perancis. Penulis drama harus menggambarkan kenyataan hidup seobyektif mungkin. Untuk itu diperlukan observasi terhadap masyarakat, obyek dan cara menuangkannya secara obyektif tanpa mengubah kebenarannya (distorasi). Akibatnya pentas penuh dengan gambaran-gambaran detail kehidupan nyata sehari-hari. Mereka tidak menggarap lagi masa lampau, tetapi hanya menggambarkan masyarakat sekarang. Yang muncul adalah gambaran masyarakat sekarang dekaden yang kadang-kadang menyinggung perasaan moral umum. Tetapi kaum Realis membela diri bahwa itulah masyarakat apa adanya, kalau penonton tidak menyukai tontonan masyarakatnya yang dekaden, ubahlah masyarakat itu, maka dipanggung akan muncul pertunjukan yang lain.[2]
2.      Pengertian dan batasan post realisme
Teater Post Realis lahir setelah teater klasik dan realisme, ketika Aristoteles dan Shopocles berkecimpung di teater klasik 4 abad SM, kemudian lahirlah teater realisme yang dikenal oleh Shakespeare, Bon Jhonsonm C Marlone dan Makore pada 16-17 SM. Dramaturgi realis sebenarnnya sudah membengkok atau mengarah ke arah dramaturgi post realis. Tapi direalis semua tampak nyata dan berjalan sesuai fakta kehidupan. Tapi di post realis sendiri, ia keluar dari diri sendiri menjadi orang lain yang bukan dirinya secara ekstrim.
Akting post realisme bisa dikatakan akting realis ketika ia memainkan perannya sesuai dengan kehidupan sehari-hari, tetapi akan menjadi post realis ketika akting itu sendiri sudah keluar dari dirinya. Akting post realis juga mendekati akting absurd, karena keluar secara ekstrim dari dirinya dan menjadi orang lain seketika.
3.      Brecht dan Teater Epik.
Bagi Brecht memanjakan penonton dengan pertunjukannya bukanlah tujuan utamanya, tetapi Brecht akan menghadirkan sebuah pertunjukan dengan penonton sebagai pengamatnya, jika akhirnya penonton terbiasa melakukan pelacakan dan pengamatannya terhadap sebuah pertunjukan yang disuguhkan maka tujuan Brecht terpenuhi.
Dalam pementasan teater epik sendiri, Brecht menjauhkan pertunjukan yang berbentuk tragedi yang direpresentasi dari masyarakat, Brecht menilai bahwa dramatik dianggap dangkal namun lembut untu dinikmati karena terlalu mengagungkan pergulatan emosi sehingga tidak banyak pemikiran yang harus muncul.
Dalam pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita juga gembira tokoh tokohnya, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi Brecht sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar penggiring perasaan.
Brecht mengharapkan ilusi, pentas teater itu pencerahan/lebih rasio. Brecht ingin menggunakan teater untuk mempertunjukkan keadaan tersebut, di setiap kondisi yang ada, pilihan yang lebih luas tersedia dibandingkan dengan apa yang biasa diamsusikan orang. Adanya ruang yang dipertahankan ini, kemudian menghasilkan ranah untuk analisa, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi Brecht sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar penggiring perasaan.
Dalam pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita tokoh tokohnya. Dalam bukunya Shomit Mitter Brecht mengungkapkan pertentangannya terhadap teater Stanilavsky, Brecht menjelaskan bahwa paksaan empati harus dihentikan karena kritiknya, bagaimana penonton disarankan untuk menguasainya. Bagi Brecht, realitas sosial tidak ditentukan dan tidak juga selalu dapat dipertahankan, maka ketika Stanilavsky menghasilkan kepatuhan, Brecht akan mencari bagaimana menciptakan ketidakpatuhan.
Ketika menempatkan kembali keseimbangan pada penekanan bahwa teater yang lebih berbicara adalah teater yang mampu mempertahankan equal, Brecht mengarah lebih tajam pada Stanilavsky: kontradiksi tersebut dialektis. Sebagai penulis saya membutuhkan seorang aktor yang empati, utuh dan secara absolut melakukan transformasi dirinya kedalam karakter. Tentu saja, hal ini merupakan tujuan yang ingin diraih Stanilavsky dalam sistemnya. Namun secara bersama dan sebelum semuanya terjadi, saya menginginkan seorang aktor yang mampu berjarak dengan dirinya dan mengkritiknya sebagai cermin masyarakat.[3]
4.      Meyerhold dan Ekspresionisme Rusia
Dalam buku Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Jakob Sumardjo menjelaskan bahwa pemberontakan terhadap Realisme dalam awal abad XX, selain simbolisme adalah Ekspresionisme. Sebenarnya Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul pada th. 1910 di Jerman. Sukses pertama teater Ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasel Clever pada th 1914 dengan dramanya Sang Anak. Puncak gerakan ini terjadi sekitar th 1818 (PD I) dan mulai merosot th 1925.
Kebenaran, menurut kaum Ekspresionisme harus dicari dalam visi pribadi, dan bukan observasi kenyataan-kenyataan luar seperti dalam Realisme. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun tidak cocok dengan dunia nyata diluarnya. Bagaimanapun subyektifnya pandangan itu. Bentuk apapun bisa diungkapkan asal sesuai dengan suara batinnya. Ia bisa mendistorasi kenyataan yang nampak, memotongnya atau melambangkannya. Baginya tak ada batas dalam membentuk ekspresinya.
Tokoh-tokoh Ekspresionis:
a.       August Strinberg (1849-1912). Seorang novelis, cerpenis, penyair dan   penerbit. Drama Ekspresionismenya yang terkenal adalah Sebuah Sandiwara Mimpi (1902) berisi adegan-adegan dan monolog-monolog pendek. Dramanya yang berpengaruh Sonata Hantu (1907) sangat ekspresionostik.
b.      Georg Kaiser (1878-1945). Dramanya yang terkenal Saudagar-saudagar Kota Calais (1914) membuatnya dikenal sebagai dramawan ekspresionis.
c.       Eugene O’Neill (1888-1953) dramawan terbesar Amerika. Ia menulis tragedi secara tetap, meskipun ada juga melodrama dan komedi sentimental. Telah ditulisnya 45 drama dengan berbagai aliran, ada realisme, naturalisme dan ekspresionisme.
TEATER RUSIA MEYERHOLD
            Teater Rakyat Rusia ini lazim dinamai “Realisme Sosialis”. Teater rakyat yang bertujuan membantu Revolusi Komunis. Teater sebagai alat perubahan sosial dipraktekkan secara keras oleh Sovyet Rusia setelah Revolusi th. 1977 ini adalah tontonan golongan menengah keatas. Kaum buruh dan tani yang mereka bersedia berkorban demi Revolusi. Orang-orang jahat menurut realisme sosialis adalah kaum musuh Revolusi.
            Meyerhold merupakan tokoh realisme sosialis yang berpendapat bahwa revolusi komunis dalam bidang politik dan ekonomi harus dilaksanakan dalam teater juga. Ada 3 prinsip Meyerhold yang menjadi dasar teaternya, yakni: Biomekanik melatih tubuh aktor dalam ballet dan gymnastik begitu rupa sehingga ia mampu menanggapi setiap kebutuhan sutradara, bahkan dalam gerakan-gerakan akrobatik seperti meloncat, jungkir balik, dan melayang dalam trapeze. Teatrikalisme mengajarkan bahwa teater adalah teater, ia bukan ilusi atau tiruan dalam kehidupan nyata. Teater adalah seni yang harus dibedakan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Penonton tidak boleh mengacaukan antara seni dan kenyataan.
            Elemen-elemen teater, aktor, panggung dan sebagainya adalah suatu kesatuan utuh yang dipergunakan sutradara untuk menafsirkan kondisi masyarakatnya. Unsur ini yang dinamai Konstruktivisme. Pentas Meyerhold hanya berisi susunan level-level, palang-palang dan trapeze yang harus digunakan aktor secara efisien.
            Vsevolod Meyerhold (1874-1842) mula-mula seorang aktor dalam group Stanilavsky. Ia banyak mencari cara-cara baru untuk mengembangkan realisme dalam Teater Seni Moscow, tapi kemudian meninggalkannya. Antara th 1905-1917 ia bersama kawan-kawannya banyak menggali kemungkinan menjadikan teater sebagai medium seni semata. Dalam banyak hal kegiatan Meyerhold segaris dengan gerakan seni abstrak dalam seni lukis pada masa itu.[4]
            Pemahaman bentuk teater sosial banyak diperdalam oleh seniman di Rusia melalui karya Vsevolod Meyerhold. Ide dasar teater sosial adalah bahwa teater sosial percaya bahwa kondisi manusia ditentukan oleh ekonomi dan politik. Seperti halnya naturalisme, teater sosial berusaha menyadarkan manusia pada perubahan nasibnya, dan keinginan untuk mengubahnya. Meskipun teater sosial cenderung berpijak diatas tanah, namun mereka menolak gagasan naturalisme yang menitikberatkan pada objektivitas dan detail-detail fakta. Tujuan teater sosial adalah menghibur, mendidik sekaligus menggiring penonton untuk bertindak secara praksis diluar teater.[5]
5.      Teater Absurd dan Eksistensialisme
Genre teater modern ini menurut Martin Esslin adalah teater yang tidak mengetengahkan wilayah spritual, tidak ada persoalan benar atau salah, tidak ada persoalan intelektual atau garis-garis petunjuk moral dan lakon-lakonnya tidak dapat menyuguhkan sebuah tragedi, yang ada melulu absurditas dan mimpi buruk. Nada khas dari lakon-lakon absurd adalah penolakannya terhadap hal-hal metafisis. Teater absurd bertolak dari doktrin eksistensi atau adanya manusia menjadi mungkin melalui tindakan menentukan pilihan secara bebas dan merdeka, sekaligus bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Tema dasar dari lakon-lakon absurd sebagaimana eksistensialisme adalah penderitaan metafisik dari absurditas dunia dan hidup manusia.[6]
            Absurd berarti irrasional, tak masuk akal, menyimpang dari logika umum. Dasar pemikiran absurd adalah pandangan bahwa dunia ini sepenuhnya netral. Kaum absurd melihat kebenaran selama ini sebagai sesuatu yang kacau, tak berbentuk dan penuh kontradisi. Kebenaran menjadi tak teratur tak logis tak pasti. Karena tak ada kebenaran objektif, maka tiap orang harus menemukan ukuran kebenarannya sendiri yang tetap absurd.
            Dari tokohnya, Camus dan Sarte, agaknya penelitian ini tidak terlalu salah menduga kuat bahwa gerakan eksistensial bermula di Perancis, bahwa gerakan ini muncul pertama kali pada dekade 1940-an, menunjukkan bahwa secara konstektual, eksistensialisme adalah bagian dari suatu greget zaman tatkala manusia Perancis menggeliat dari cengkeraman Nazi Jerman. Menemukan bahwa lakon eksistensial dan absurd menyajikan pengalaman keterombangambingan dan kegamangan. Setidaknya manusia Perancis pada waktu itu dihadapkan pada dua pilihan, apakah memilih kerjasama dengan Nazi atau menolak dan melawannya.[7]
            Jelas terlihat bahwa teater Absurd muncul sebagai akibat dari kondisi dunia modern sekarang. Teater ini sebagai gerakan baru sampai pada tahap Negasi, yakni merobohkan/menolak konvensi-konvensi lama dan belum menemukan norma-norma baru bagi persoalan-persoalan modern. Namun, bagaimanapun teater Absurd telah merintis jalan untuk dilanjutkan oleh teater masa depan.[8]
6.      Teater Kejam dan Anthomin Arthaud
Theater of Cruelty (Teater Kejam) ini hadir sebagai penghargaan Artaud. Artaud mempergunakan kata “Cruelty” itu bukan dengan si sadisme tetapi meminta kepada kita untuk menghadapi teater itu dengan sikap lebih kasar, tanpa belas kasihan.[9]
Definisi kekejaman Artaud sendiri, menyatakan bahwa semua seni mewujudkan dan mengintensifkan kebrutalan yang mendasari kehidupan untuk menciptakan sensasi pengalaman. Growtosky dalam artikelnya tahun 1967 di Flourish menggambarkan tentang Arthaud bahwa ia “telah menjadi martir buat kita, sebuah bukti yang sangat jelas tentang teater sebagai terapi”. Seperti pada kasus aktor-aktor Herzog, warisan Arthaud sangat bermakna tidak pada kebenaran-kebenaran peristiwa dalam teaternya tapi karena tingkat kesahihan kenyataan. Apabila pada tragedi Yunani terdapat prinsip dimana seseorang terpilih menjadi persembahan yang juga menjadi korban memiliki kekuatan untuk menyembuhan masyarakat, maka bagi Growtoski, Artaud dengan penampilannya harus “menjadikan penyakit masyarakat sebagai dirinya.
Hal ini mengungkapkan bahwa analisis terhadap penyakit Artaud akan memberikan kepada kita pemahaman tentang penyakit masyarakat yang sebenarnya. Seperti yang ditulis Growtoski tentang Artaud. “Kekacauan dirinya adalah gambaran otentik dunia. Dengan demikian, analisis terhadap penderitaan Artaud mengungkapkan tiga kondisi mendasar tentang penyakit masyarakat: ketidakmurnian, ketenangan, ketidaktahuan, dan fragmentasi baik pada diri seseorang dan masyarakat.
Artaud mengajarkan kita suatu pelajaran yang berharga yang tak mungkin kita tolak. Pelajaran itu adalah tentang penyakit, Artaud yang malang ini sebenarnya mengidap Paranoia, semacam penyakit gila karena ketakutan atau karena kekecewaan. Peradaban bisa ditimpa penyakit schizophrenia, suatu perpecahan antara inteligensia dengan perasaan, tubuh dengan jiwa. Masyarakat tidak bisa membiarkan Artaud untuk sakit dalam cara yang aneh. Mereka merawatnya, menyiksanya dengan electro shock, mencoba untuk menjawabnya dengan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang diskursif atau serebral yaitu menempatkan penyakit masyarakat kedalam dirinya.[10]
7.      Jerzy Growtosky dan Teater Miskin
Semboyan dari Jerzy Grotowski yang terkenal ialah "Inti teater adalah Aktor, perbuatan-perbuatannya dan apa yang dia dapati". Jerzy Growtosky “hanya membutuhkan aktor” karena itu teater ini disebut teater miskin. Jerzy Growtosky menganggap setting panggung, kostum dan lain-lain tidak dibutuhkan karena akan mampu mempertunjukkan teater yang baik dengan keterampilannya dalam seni peran.
Satu hal yang dapat ditangkap dari Grotowski ialah teater itu aktor. Oleh sebab itu, untuk membangun suatu pertunjukan yang baik, sebenarnya hubungan antara aktor dengan penonton benar-benar harus diperhatikan. Namun, seperti biasa, ada "sekat" yang membatasi antara penonton dan aktor. Aktor benar-benar merefleksikan diri dalam peran, agar dapat dinikmati oleh penonton sehingga menimbulkan stimultan untuk ditonton kembali oleh penonton. Beberapa teknik latihan Teater versi Jerzy Grotowski banyak yang memaksa aktor harus mengeluarkan seluruh ekpresi yang bisa dilakukan. Teknik latihannya malah seperti permainan. Persiapan diri pelaku menurut Jerzy Grotowski merupakan cara dan media pengungkapan jati diri pelaku demi mempengaruhi katarsis penonton. Dinamika ini yang disebut dengan skoring, yaitu pertemuan antara tubuh pelaku dengan gerak dan vokal yang ditujukan untuk berkomunikasi dengan penonton.
Konsep yang diusung oleh Grotowski ini dikenal sebagai “Teater Miskin” (Poor Theatre). Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor, ketimbang "kekuatan" sutradara. Dalam hal ini di anggap sebagai sebuah lecutan. Agar tidak "manja" untuk membuat sebuah pertunjukan "mewah" dengan balutan lighting, tata panggung dan lain-lain. Teater itu aktor. Tentu untuk mengalahkan kemewahan itu, Teater miskin harus mengandalkan kekuatan dari aktor-aktornya. Hal ini dianggap dapat terus berkembang seiring waktu berjalan, hal yang dinamakan proses.
Menuju Teater Miskin mengupas pemikiran tokoh teater terkemuka dunia Jerzey Growtosky mengenai konsep teater eksperimentalnya yang secara kreatif dinamainya “Teater Miskin” (Poor Theater). Dengan menghilangkan “bumbu-bumbu” berlebihan dalam proses penyatuan tersebut, Growtosky sampai pada konsep tentang “Teater Miskin”.
Teater miskin meninggalkan make up, hidung palsu, perut bunting dengan ganjalan bantal, pokoknya segala sesuatu yang dipakai oleh aktor dikamar rias sebelum pertunjukan. Teater miskin menemukan bahwa adalah sempurna secara teaterikal bagi pemeran bila ia mengubah tipe yang satu ke tipe yang lain, watak yang satu satu ke watak yang lain, siluet yang satu ke siluet yang lain sementara penonton memperhatikan dalam kondisi yang miskin, dengan mempergunakan hanya tubuh dan keahliannya.[11]
Teater miskin mengurangi unsur-unsur plastis yang mempunyai arti sendiri dan mencoba memaparkan sesuatu yang berdiri sendiri untuk setiap aktivitas sang aktor yang semuanya menumbuhkan kreativitas aktor untuk obyek-obyek yang paling elementer dan nyata. Dengan mengontrol penggunaan geraknya, aktor dapat “mengubah” lantai menjadi laut, sebuah meja menjadi sebuah kursi pengakuan dosa, sepotong besi menjadi teman atau lawan bermain, dan lain-lain.
Teater miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini. Namun rasa puas terhadap cara-cara kerja seperti itu memang besar. Sang aktor yang berada dalam proses disiplin khusus dan pengorbanan diri, penetrasi diri dan pembentukan diri, tanpa takut dan ragu berjalan melewati batas-batas normal yang dapat diterima akan mencapai semacam keharmonisan batiniah dan ketenangan pikiran. Ia akan menjadi sehat raga dan piiran dan jalan hidupnya akan lebih normal dibandingkan aktor-aktor pada teater Kaya.[12]
Jika seseorang dapat menerima kemiskinan ke dalam teater dan membuang segala sesuatu yang tidak pokok bagi teater maka akan tampak bagi kita apa yang menjadi tulang punggung daripadanya, juga kekayaan-kekayaan terpendam yang terletak dalam sifat yang paling alamiah dari bentuk seni.
8.      Teater Ketiga dan Eugenio Barba
Teater ketiga yang direkomendasikan Barba, mencoba untuk bereksperimen dengan penonton, dimana Barba membuat jaringan aktor dan grup. Setiap grup bergantian menonton pertunjukan lain atau yang diistilahkannya sebagai “barter artistik”. Dengan cara itu, sebuah grup dapat mengatasi soal artistik, semisal kekurangan aktor dan sebagainya, selain itu juga dapat mengatasi biaya produksi, karena dimasa itu teater masih belum bisa dijual di gedung-gedung pertunjukan berkelas dengan fasilitas pentas yang memang tidak ada.  Maka grup teater ini menjadi syarat utama bagi Barba.[13]
Oleh karena itu, teater Barba ini lebih memilih datang ke suatu pemukiman untuk menjadi tuan rumah sekaligus membentuk grup teater yang akan membuat sebuah pertunjukkan dengan maksud agar masyarakat menyadari dan mendapatkan kesempatan atau pengalaman untuk berperan sebagai orang lain.
9.      Peter Brook dan Mahabrata
Brook seorang seniman dan intelektual kelahiran inggris dengan reputasi International menguraikan penjajahannya atas kesemestaan nilai kemanusiaan yang melampui batas-batas kebudayaan serta perbedaan bangsa dan bahasa. Sebagai seorang kreator dan pemikir, belasan lakon teater (sebagian besar dari karya Shakespeare), 4 film fenomenal (termasuk diantaranya The Mahabrata yang banyak dibicarakan itu) dan pentas opera yang disutradarainya mengukuhkan otoritas Brook atas dunia yang digelutinya.
Lewat perspektif teater, film dan opera, dengan cerdas dan imajinatif Brook berbicara tentang saling pengertian antara Timur dan Barat yang dibungkusnya dengan perbincangan mengenai konsep dharma, nilai-nilai filosofis Mahabrata, makna dibalik topeng Bali, tentang pementasan Afrika, tentang orang-orang Aborigin, hikayat sufi klasik hingga gagasan mengenai perlunya sebuah culture of link.
Peter Brook mengatakan bahwa pengalaman berteater sebenarnya adalah menghubungkan dua bentuk kenyataan yaitu dunia imajiner dan dunia keseharian penonton (Mitter, 2002: xx). Konsep ini melahirkan teori `dua dunia` yang dipahami bahwa aktivitas pemain secara fisik yang aktif dan konvensi penonton yang pasif bertemu dalam sebuah permainan, dan permainan ini mampu memberi pengalaman khusus bagi keduanya. Permainan ini oleh Peter Brook disebut sebagai The Shifting Point. The Shifting Point (perpindahan titik tekan), sebuah permainan menghasilkan pengertian adanya ragam kebenaran. Kebenaran selalu bergerak, satu kebenaran akan mengungkap adanya kebenaran yang lain. Kebenaran yang beragam menyebabkan seseorang mampu melihat berbagai perspektif dalam sudut pandangnya. (Yudiaryani, 2005: 309)
             Aktor Brook diharapkan merasakan orisinalitas emosi dramatik dan dengan demikian mereka mampu memantapkan diri bahwa mereka adalah tokoh yang mereka mainkan. Namun gaya yang dimainkan Brook untuk menemukan titik temu antara aktor dan tokoh sangat berbeda dalam dua produksi tersebut. Brook menyatakan pada grupnya bahwa “pelatihan adalah mencari makna dan kemudian membuatnya bermakna.[14]
Mahabrata merupakan karya terbesar kemanusiaan dan seperti semua karya besar maka Mahabrata berisi ekspresi pemikiran Hindu yang paling dalam dan selama lebih dari dua ribu tahun Mahabrata telah memasuki dengan akrab kehidupan India sehari-hari dan bagi jutaan manusia watak-watak yang ada dalam cerita itu begitu hidup abadi begitu nyata seperti anggota keluarganya sendiri, dengan siapa mereka berbagi pertengkaran dan persoalan serta pertanyaan-pertanyaan dalam hidup ini.
Kisah Mahabrata dikenal dari segi karya sastra adalah tampil sebagai tontonan. Namun Mahabrata yang berasal dari India yang berumur lebih dari 20 tahun ini telah mengguncang dunia lewat tangan Peter Brook.  Sutradara teater kenamaan dengan reputasi international asal Inggris ini menggunakannya sebagai sumber karya.
Mahabrata memotong dan mencabik-cabik semua yang lama. Konsep-konsep tradisional Barat yang didasarkan pada hal-hal yang tidak penting dan kemerosotan akhlak Kristiani dimana yang baik dan dosa diasumsikan sebagai bentuk-bentuk yang paling primitif. Dan hal itu mengembalikan lagi problem yang luas, penuh kekuasaan dan penuh cahaya, ide konflik yang tak putus-putus didalam diri setiap orang, setiap kelompok, setiap pernyataan dunia.[15]
Dalam sejumlah wawancara, Brook menyatakan ia punya obsesi dengan epos besar, Brook terpesona pada nilai-nilai Timur Mahabrata  katanya adalah cerita India. “Tetapi lewat kebesarannya ini adalah juga cerita tentang umat manusia”. Mahabrata yang terdiri dari 90 ribu kuplet, disebut-sebut merupakan karya Bhagawan Wijasa. Kisah keluarga Bharata ini punya batang pokok berupa permusuhan abadi eluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa. Epos besar ini mempunyai unsur dongeng, legenda, kepahlawanan dan ajaran moral. Pendeknya mencoba memuat segala sifat dan perbuatan manusia.
Sutradara kenamaan Peter Brook melakukan penyulingan esensi kisah besar di India merupakan realitas yang hidup sementara bagi sebagian masyarakat kita menjadi pandangan hidup. Dalam hal ini kekomplekan masalah, moral cerita yang tidak hitam putih, pertanyaan, renungan, tidak hadir sepenuhnya. Padahal epos Mahabrata lebih menghadirkan sejumlah pertanyaan daripada jawaban gambalang.
Suatu kajian tentang pengaruh Brecht pun tidak membantu: Le Mahabharata tidak hanya menggunakan seperangkat besar gaya lebih dari yang digunakan Brecht, namun menanam setiap gaya dengan integritas otonom seperti yang tak mampu dilakukan Brecht. Hubungan linier antara emosi dengan alienansi dalam Brecht, berbeda dengan sekumpulan gaya yang menjadi ciri khas kerja Brook Le Mahabharata. Mengingat bahwa kerja Brecht adalah menghasilkan dua titik pertentangan, Le Mahabharata menyenangi penggunaan konvensi dan teknik yang berlimpah. Maka fleksibelitas gaya Brecht pun tidak mampu menjelaskan ensiklopedia Brook.[16]
10.  Robert Wilson dan I La Galigo
Teater I La Galigo ini menyuguhi penonton pentas visual, tari dan puisi yang memanfaatkan mitologi Bugis berusia lebih dari 700 tahun. Dengan mengandalkan naskah panjang dari Sulawesi Selatan, teater I La Galigo tertolong oleh sebuah alur yang relatif kokoh dan utuh yang menceritakan ulang dan menvisualkan mitologi itu diatas pentas. Dan Robert Wilson menghadirkan kisah generasi pertama manusia didunia,  dan penegasan bahwa menjadi manusia lebih baik daripada menjadi dewa-dewa, bahwa dunia lebih penting dari langit. Adegan asal mula manusia dan dunia itu, dengan tubuh-tubuh gelap yang melangkah pelan dan miring mengingatkan antara lain pada sosok dewa dan manusia di dinding piramida Mesir kuno. Pentas I La Galigo ini tampak magis tapi diisi dengan sebuah eksistensial yang sangat modern yang menghadirkan sebuah tegangan potensial yang punya energik.
Yang berharga dari Robert Wilson adalah bahwa selain menggelar upaya perajutan tambang genesis, proyek ini lebih menonjol ke derita dan kebingungan dari perjalinan tambang, alhasil seperti bisa ditebak, pentas yang tak jarang bikin gaduh oleh kata-kata yang bersahut-sahutan. Pentas seperti ini terlihat sebagai persekongkolan dalam permainan artistik yang tampak tak peduli pada daya cerna penonton. Penonton yang mengharapkan sebuah teks yang jadi  dan utuh memang tak memperolehnya dari pentas ini, mereka ditantang menyusun sendiri teks tersebut. Dengan kata lain, Robert Wilson memang lebih mirip khaos sebelum kosmos, atau lebih tepat, sebuah transisi dari khaos ke kosmos.
11.  Teater interkultural dan Patrice Palvis
Sejak tahun 70-an, diskursus teater di forum-forum internasional mulai diramaikan dengan diskusi dan perdebatan tentang teater interkultural. Terlibat dalam suatu tedensi yang terus meningkat untuk mengadopsi elemen-elemen dari tradisi-tradisi teater asing ke dalam produksi karya-karya teater.
Pencarian atas pengalaman teater interkultural telah menyibukkan International Centre for Theatre Research. Merujuk pada Patrice Palvis dalam The Intercultural Performance Reader. Dalam pengertian yang paling ketat (teater interkultural) menciptakan bentuk-bentuk hibrida dari pencampuran yang sedikit banyak secara sadar dan sukarela dari tradisi-tradisi pertunjuan yang dapat dilacak di wilayah-wilayah kultural yang berbeda (Pavis, 1996:8)
Praktik teater interkultural mendapatkan kritik atas proyek-proyek interkultural yang kebanyakan terkait dengan isu relasi kuasa dalam proses adaptasi dan apropriasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, seluruh rentang praktik teater interkultural juga memapar proses adaptasi dalam teater dengan bentuknya yang lebih kompleks dan juga memapar suatu kenyataan fundamental lain atas teater.
12.  Teater kaum tertindas dan Augusto Boal (Teater Forum)
Teater Kaum Tertindas
Menurut Boal, kritis terhadap keadaan dan merubah k eadaan tersebut. Ini tidak saja media utk mencerahkan tp utk mendorong orang berbuat sesuatu.
Konseptual secara dramaturgi yang dikenal yaitu teater-teater yang tak terlihat. Yang dilawan boald melawan prinsip-prinsip  kapitalisme yang tidak dibutuhkan. Maksudnya agar  teater tidak sekedar hiburan tapi sebagai terapi bagi penonton dan setidaknya menguntungkan bagi penonton. Pelatihan aktor Boal bahwa kehidupan sehari-hari itu akting, setiap orang bisa menampilkan sesuatu yang berbeda bahwa setiap orang bisa melakukan hal berbeda ketika sendiri dan berhadapan dengan orang lain.
Akting dalam konseptual Boal memakai akting natural.
Konsep Boal salah satunya teater forum, yaitu mendatangi daerah yang memiliki banyak konflik yang dianggap merusak ekosistem/alam, sehingga Boal membuat pertunjukan teater dengan permasalahan tersebut dengan harapan penonton didaerah tersebut menyadari permasalahan yang ada didaerah mereka dengan cara mengajak masyarakat tersebut untuk bermain langsung didalam pertunjukan teater tersebut.
Teater kaum tertindas dapat menjadi ruang sehingga masyarakat dapat menyadari dan merasakan permasalahan yang dihadapi daerahnya. Bagi Boal semua orang adalah aktor, ia harus mampu memprovokasi, yang mampu mempengaruhi orang lain, itu tugas aktor yang dimaksudan Boald.
Orang yang kaya terkesan tamak bagi orang miskin, tapi orang mikin terlihat menyedihkan bagi orang kaya itu. Sebenarnya kesan itu bisa salah tergantung individual menghadapinya.
Menurut Boal itu problem manusia, karena mereka hanya melihat kesan dan tidak berbalik keasalnya. Teater Boal mengembalikan keadaan diri sendiri.
Boal adalah seseorang yang menyadari bahwa fungsi teater ini adalah pendidikan dan pengajaran bukan sekedar hiburan. Oleh karena itu teater tidak terlihat Boal dianggap provokator, dan mendorong masyarakat didorong untuk memahami permasalahan daerahnya. Yang diingin dilwan Boal adalah budaya diam dan Boal meyakinkan masyarakat kaum tertindas bahwasanya ketakutan itu hanyalah gagasan. Maka dari itu Boal menolak tidak adanya penonton, karena setiap orang itu akan jadi aktor ketika ia menyaksikan pertunjukan tersebut.
Pelatihan aktor Boal disebut Publik Speaking. Yang dimunculkan aktor-aktor Boal adalah orang yang mempunyai tujuan hidup dan yang berjuang untuk hak nya.
13.  Teater Poskolonial.
Teater poskolonial berasal dari negara-negara yang dijajah, teater poskolonial ini berusaha menunjukkan bahwa dibalik pembelajaran teater kolonial ini terendap ideologi yang menjadikan kita sebagai orang-orang yang dijajah. Teater poskolonial teater-teater yang membuka pengalaman dibawah kolonial.
Dramaturginya dibagikan 4 kelompok
1.      Pementasan teater yang menunjukan pengalaman selama masa kolonial atau masa penjajahan.
2.      Pementasan-pementasan teater yang menunjukkan regenerasi atau keterlanjutan teater-teater yang diajarkan kolonial.
3.      Teater-teater yang menunjukkan atas kesadaran bahaya kolonial.
4.      Teater-teater yang membongkar ideologi kolonial.
Teater pertama yang menunjukkan teater kolonial diumumkan oleh teks lakon, contohnya ketoprak, randai dan yang lainnya yang menceritakan kisah tentang masa penjajahan dulu.
Teater kedua yaitu teater Hibrid bahwasanya kolonial yang membawa teater tersebut ke pribumi yang bertujuan untuk mempengaruhi kaum pribumi tersebut. Artinya, adanya pengaruh kolonial yang masuk kedalam teater-teater tradisional Indonesia. Itu menunjukkan bahwasanya orang pribumi dapat mengembangkan teater kolonial tersebut.
Teater ketiga yaitu kolonialisme bentuk baru, yang mengkabolarasi pertunjukan dari orang  pribumi dengan kolonial.


DAFTAR PUSTAKA
Esslin Martin. Teater Abssurd. PENERBIT PUSTAKA BANYUMILI. 2008
Dedepramayoza.blogspot.com/?m=1
Sumardjo Jakob. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. PENERBIT ANGKASA BANDUNG. 2003
Mitter Shomit, Stanilavsky, Brecht , Grotosky, Brook. Sistem Pelatihan Lakon. PENERBIT MSPI DAN ARTI. 2002
Brook Peter. Percikan pemikiran tentang teater, film dan opera. PENERBIT MSPI DAN ARTI. 2002
Growtosky Jerzey. Menuju Teater Miskin. PENERBIT MSPI DAN ARTI. 2002
Soemanto Bakdi. Jagat Teater. PENERBIT MEDIA PRESSINDO. 2001



[1] Bakdi Soemanto. Jagat Teater (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2001)270
[2] Jakob Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat (Bandung: Penerbit Angkasa, 2003)80
[3] Shomit Mitter. Brecht dkk. Sistem Pelatihan Lakon ( Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)66
[4] Jakob Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. (Bandung: Penerbit Angkasa, 2003)97
[5] Shomit Mitter. Stanilavsky dkk. Sistem Pelatihan Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)xi
[6] Martin Esslin, Teater Absurd (Jawa Timur: Penerbit Pustaka Banyumili, 2008)i
[7] Bakdi Soemanto. Jagat Teater (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2001) 142
[8] Jakob Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat (Bandung: Penerbit Angkasa, 2003)113
[9] Peter Brook. Percikan Pemikiran Tentang TEATER, FILM & OPERA (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)27
[10] Jerzy Growotosky. Menuju Teater Miskin (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)47
[11] Jerzy Growtosky. Menuju Teater Miskin. (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)9
[12] Jerzy Growotosky. Menuju Teater Miskin. (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)76
[13] Dede Pramayoza. weblog. Teater dan Dimensi Sosialnya; Beberapa Kacamata.
[14] Shomit Mitter, Peter Brook dkk. Sistem Pelatihan Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)34
[15] Peter Brook. Percikan Pemikiran Tentang TEATER, FILM & OPERA (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)119
[16] Shomit Mitter, Peter Brook dkk. Sistem Pelatihan Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)189

0 komentar:

By :
Free Blog Templates