Rabu, 11 Februari 2015
1. Review
singkat realisme
Realisme
dalam teater yaitu dapat menciptakan sesuatu di atas panggung seperti
“kenyataan” yang ada, menciptakan ilusi di atas panggung seolah-olah penonton
menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari yang kemudian
dituangkan kedalam cerita diatas panggung. Begitupun dengan akting realis,
dalam memerankan tokoh dinaskah realis, akting yang disuguhkan haruslah seperti
manusia dikesehariannya, memainkan tokoh, blocking, movement, gestur dan
karakter dengan natural dan wajar seperti yang ada dilingkungan masyarakat
Aliran
realisme menampilkan sisi lain kehidupan yang biasanya jarang diketahui
masyarakat umum. Ataupun permasalahan hidup yang terjadi pada individu namun
tidak diketahui masyarakat. Realisme menyajikan gambaran nyata dari kehidupan
seperti naskah yang berceritakan tentang konflik kehidupan sehari-hari yang
dialami oleh masyarakat dengan satu kurun waktu yang sama.
Realisme,
seperti gerakan seni lainnya, senantiasa bergerak dan berkembang. Awal gagasan
realisme dalam teater adalah keinginan untuk menciptakan ilusion of reality dipanggung. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa
realisme awal ingin membuat penontonnya lupa bahwa mereka sedang menonton
drama. Untuk itu, adegan dalam kamar tidak lagi cukup ada layar yang diberi
gambar, akan tetapi perlu diciptakan kamar yang sebenarnya. Inilah yang
mengawali tumbuhnya realisme: convention
of the fourth wall. Tampaknya, realisme ingin menyajikan kehidupan langsung
dipanggung.[1]
Realisme
dalam teater berkembang sejak 1850-an di Perancis. Penulis drama harus
menggambarkan kenyataan hidup seobyektif mungkin. Untuk itu diperlukan
observasi terhadap masyarakat, obyek dan cara menuangkannya secara obyektif
tanpa mengubah kebenarannya (distorasi). Akibatnya pentas penuh dengan
gambaran-gambaran detail kehidupan nyata sehari-hari. Mereka tidak menggarap
lagi masa lampau, tetapi hanya menggambarkan masyarakat sekarang. Yang muncul
adalah gambaran masyarakat sekarang dekaden yang kadang-kadang menyinggung
perasaan moral umum. Tetapi kaum Realis membela diri bahwa itulah masyarakat
apa adanya, kalau penonton tidak menyukai tontonan masyarakatnya yang dekaden,
ubahlah masyarakat itu, maka dipanggung akan muncul pertunjukan yang lain.[2]
2. Pengertian
dan batasan post realisme
Teater
Post Realis lahir setelah teater klasik dan realisme, ketika Aristoteles dan
Shopocles berkecimpung di teater klasik 4 abad SM, kemudian lahirlah teater
realisme yang dikenal oleh Shakespeare, Bon Jhonsonm C Marlone dan Makore pada
16-17 SM. Dramaturgi realis sebenarnnya sudah membengkok atau mengarah ke arah
dramaturgi post realis. Tapi direalis semua tampak nyata dan berjalan sesuai
fakta kehidupan. Tapi di post realis sendiri, ia keluar dari diri sendiri
menjadi orang lain yang bukan dirinya secara ekstrim.
Akting
post realisme bisa dikatakan akting realis ketika ia memainkan perannya sesuai
dengan kehidupan sehari-hari, tetapi akan menjadi post realis ketika akting itu
sendiri sudah keluar dari dirinya. Akting post realis juga mendekati akting
absurd, karena keluar secara ekstrim dari dirinya dan menjadi orang lain
seketika.
3. Brecht
dan Teater Epik.
Bagi
Brecht memanjakan penonton dengan pertunjukannya bukanlah tujuan utamanya,
tetapi Brecht akan menghadirkan sebuah pertunjukan dengan penonton sebagai
pengamatnya, jika akhirnya penonton terbiasa melakukan pelacakan dan
pengamatannya terhadap sebuah pertunjukan yang disuguhkan maka tujuan Brecht
terpenuhi.
Dalam
pementasan teater epik sendiri, Brecht menjauhkan pertunjukan yang berbentuk
tragedi yang direpresentasi dari masyarakat, Brecht menilai bahwa dramatik
dianggap dangkal namun lembut untu dinikmati karena terlalu mengagungkan
pergulatan emosi sehingga tidak banyak pemikiran yang harus muncul.
Dalam
pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton
tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita
juga gembira tokoh tokohnya, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi
Brecht sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar
penggiring perasaan.
Brecht
mengharapkan ilusi, pentas teater itu pencerahan/lebih rasio. Brecht ingin
menggunakan teater untuk mempertunjukkan keadaan tersebut, di setiap kondisi
yang ada, pilihan yang lebih luas tersedia dibandingkan dengan apa yang biasa
diamsusikan orang. Adanya ruang yang dipertahankan ini, kemudian menghasilkan
ranah untuk analisa, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi Brecht
sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar penggiring perasaan.
Dalam
pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton
tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita
tokoh tokohnya. Dalam bukunya Shomit Mitter Brecht mengungkapkan
pertentangannya terhadap teater Stanilavsky, Brecht menjelaskan bahwa paksaan
empati harus dihentikan karena kritiknya, bagaimana penonton disarankan untuk
menguasainya. Bagi Brecht, realitas sosial tidak ditentukan dan tidak juga
selalu dapat dipertahankan, maka ketika Stanilavsky menghasilkan kepatuhan,
Brecht akan mencari bagaimana menciptakan ketidakpatuhan.
Ketika
menempatkan kembali keseimbangan pada penekanan bahwa teater yang lebih
berbicara adalah teater yang mampu mempertahankan equal, Brecht mengarah lebih
tajam pada Stanilavsky: kontradiksi tersebut dialektis. Sebagai penulis saya
membutuhkan seorang aktor yang empati, utuh dan secara absolut melakukan
transformasi dirinya kedalam karakter. Tentu saja, hal ini merupakan tujuan
yang ingin diraih Stanilavsky dalam sistemnya. Namun secara bersama dan sebelum
semuanya terjadi, saya menginginkan seorang aktor yang mampu berjarak dengan
dirinya dan mengkritiknya sebagai cermin masyarakat.[3]
4. Meyerhold
dan Ekspresionisme Rusia
Dalam
buku Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Jakob Sumardjo menjelaskan bahwa
pemberontakan terhadap Realisme dalam awal abad XX, selain simbolisme adalah
Ekspresionisme. Sebenarnya Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum
masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai
suatu gerakan teater, ia baru muncul pada th. 1910 di Jerman. Sukses pertama
teater Ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasel Clever pada th 1914 dengan
dramanya Sang Anak. Puncak gerakan ini terjadi sekitar th 1818 (PD I) dan mulai
merosot th 1925.
Kebenaran,
menurut kaum Ekspresionisme harus dicari dalam visi pribadi, dan bukan
observasi kenyataan-kenyataan luar seperti dalam Realisme. Kebenaran terletak
dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut
batinnya harus diekspresikan meskipun tidak cocok dengan dunia nyata diluarnya.
Bagaimanapun subyektifnya pandangan itu. Bentuk apapun bisa diungkapkan asal
sesuai dengan suara batinnya. Ia bisa mendistorasi kenyataan yang nampak, memotongnya
atau melambangkannya. Baginya tak ada batas dalam membentuk ekspresinya.
Tokoh-tokoh
Ekspresionis:
a. August
Strinberg (1849-1912). Seorang novelis, cerpenis, penyair dan penerbit. Drama Ekspresionismenya yang
terkenal adalah Sebuah Sandiwara Mimpi (1902)
berisi adegan-adegan dan monolog-monolog pendek. Dramanya yang berpengaruh Sonata Hantu (1907) sangat
ekspresionostik.
b. Georg
Kaiser (1878-1945). Dramanya yang terkenal Saudagar-saudagar
Kota Calais (1914) membuatnya dikenal sebagai dramawan ekspresionis.
c. Eugene
O’Neill (1888-1953) dramawan terbesar Amerika. Ia menulis tragedi secara tetap,
meskipun ada juga melodrama dan komedi sentimental. Telah ditulisnya 45 drama
dengan berbagai aliran, ada realisme, naturalisme dan ekspresionisme.
TEATER
RUSIA MEYERHOLD
Teater Rakyat Rusia ini lazim
dinamai “Realisme Sosialis”. Teater rakyat yang bertujuan membantu Revolusi
Komunis. Teater sebagai alat perubahan sosial dipraktekkan secara keras oleh
Sovyet Rusia setelah Revolusi th. 1977 ini adalah tontonan golongan menengah
keatas. Kaum buruh dan tani yang mereka bersedia berkorban demi Revolusi.
Orang-orang jahat menurut realisme sosialis adalah kaum musuh Revolusi.
Meyerhold merupakan tokoh realisme
sosialis yang berpendapat bahwa revolusi komunis dalam bidang politik dan
ekonomi harus dilaksanakan dalam teater juga. Ada 3 prinsip Meyerhold yang
menjadi dasar teaternya, yakni: Biomekanik melatih tubuh aktor dalam ballet dan
gymnastik begitu rupa sehingga ia mampu menanggapi setiap kebutuhan sutradara,
bahkan dalam gerakan-gerakan akrobatik seperti meloncat, jungkir balik, dan
melayang dalam trapeze. Teatrikalisme mengajarkan bahwa teater adalah teater,
ia bukan ilusi atau tiruan dalam kehidupan nyata. Teater adalah seni yang harus
dibedakan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Penonton tidak boleh mengacaukan
antara seni dan kenyataan.
Elemen-elemen teater, aktor,
panggung dan sebagainya adalah suatu kesatuan utuh yang dipergunakan sutradara
untuk menafsirkan kondisi masyarakatnya. Unsur ini yang dinamai Konstruktivisme.
Pentas Meyerhold hanya berisi susunan level-level, palang-palang dan trapeze
yang harus digunakan aktor secara efisien.
Vsevolod Meyerhold (1874-1842)
mula-mula seorang aktor dalam group Stanilavsky. Ia banyak mencari cara-cara
baru untuk mengembangkan realisme dalam Teater Seni Moscow, tapi kemudian
meninggalkannya. Antara th 1905-1917 ia bersama kawan-kawannya banyak menggali
kemungkinan menjadikan teater sebagai medium seni semata. Dalam banyak hal
kegiatan Meyerhold segaris dengan gerakan seni abstrak dalam seni lukis pada
masa itu.[4]
Pemahaman bentuk teater sosial
banyak diperdalam oleh seniman di Rusia melalui karya Vsevolod Meyerhold. Ide
dasar teater sosial adalah bahwa teater sosial percaya bahwa kondisi manusia
ditentukan oleh ekonomi dan politik. Seperti halnya naturalisme, teater sosial
berusaha menyadarkan manusia pada perubahan nasibnya, dan keinginan untuk
mengubahnya. Meskipun teater sosial cenderung berpijak diatas tanah, namun
mereka menolak gagasan naturalisme yang menitikberatkan pada objektivitas dan
detail-detail fakta. Tujuan teater sosial adalah menghibur, mendidik sekaligus
menggiring penonton untuk bertindak secara praksis diluar teater.[5]
5. Teater
Absurd dan Eksistensialisme
Genre
teater modern ini menurut Martin Esslin adalah teater yang tidak mengetengahkan
wilayah spritual, tidak ada persoalan benar atau salah, tidak ada persoalan
intelektual atau garis-garis petunjuk moral dan lakon-lakonnya tidak dapat
menyuguhkan sebuah tragedi, yang ada melulu absurditas dan mimpi buruk. Nada
khas dari lakon-lakon absurd adalah penolakannya terhadap hal-hal metafisis.
Teater absurd bertolak dari doktrin eksistensi atau adanya manusia menjadi
mungkin melalui tindakan menentukan pilihan secara bebas dan merdeka, sekaligus
bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Tema dasar dari lakon-lakon absurd
sebagaimana eksistensialisme adalah penderitaan metafisik dari absurditas dunia
dan hidup manusia.[6]
Absurd berarti irrasional, tak masuk
akal, menyimpang dari logika umum. Dasar pemikiran absurd adalah pandangan
bahwa dunia ini sepenuhnya netral. Kaum absurd melihat kebenaran selama ini
sebagai sesuatu yang kacau, tak berbentuk dan penuh kontradisi. Kebenaran
menjadi tak teratur tak logis tak pasti. Karena tak ada kebenaran objektif,
maka tiap orang harus menemukan ukuran kebenarannya sendiri yang tetap absurd.
Dari tokohnya, Camus dan Sarte,
agaknya penelitian ini tidak terlalu salah menduga kuat bahwa gerakan
eksistensial bermula di Perancis, bahwa gerakan ini muncul pertama kali pada
dekade 1940-an, menunjukkan bahwa secara konstektual, eksistensialisme adalah
bagian dari suatu greget zaman tatkala manusia Perancis menggeliat dari
cengkeraman Nazi Jerman. Menemukan bahwa lakon eksistensial dan absurd
menyajikan pengalaman keterombangambingan dan kegamangan. Setidaknya manusia
Perancis pada waktu itu dihadapkan pada dua pilihan, apakah memilih kerjasama
dengan Nazi atau menolak dan melawannya.[7]
Jelas terlihat bahwa teater Absurd
muncul sebagai akibat dari kondisi dunia modern sekarang. Teater ini sebagai
gerakan baru sampai pada tahap Negasi, yakni merobohkan/menolak
konvensi-konvensi lama dan belum menemukan norma-norma baru bagi
persoalan-persoalan modern. Namun, bagaimanapun teater Absurd telah merintis jalan
untuk dilanjutkan oleh teater masa depan.[8]
6. Teater
Kejam dan Anthomin Arthaud
Theater
of Cruelty (Teater Kejam) ini hadir sebagai penghargaan Artaud. Artaud
mempergunakan kata “Cruelty” itu bukan dengan si sadisme tetapi meminta kepada
kita untuk menghadapi teater itu dengan sikap lebih kasar, tanpa belas kasihan.[9]
Definisi
kekejaman Artaud sendiri, menyatakan bahwa semua seni mewujudkan dan
mengintensifkan kebrutalan yang mendasari kehidupan untuk menciptakan sensasi
pengalaman. Growtosky dalam artikelnya tahun 1967 di Flourish menggambarkan
tentang Arthaud bahwa ia “telah menjadi martir buat kita, sebuah bukti yang
sangat jelas tentang teater sebagai terapi”. Seperti pada kasus aktor-aktor
Herzog, warisan Arthaud sangat bermakna tidak pada kebenaran-kebenaran
peristiwa dalam teaternya tapi karena tingkat kesahihan kenyataan. Apabila pada
tragedi Yunani terdapat prinsip dimana seseorang terpilih menjadi persembahan
yang juga menjadi korban memiliki kekuatan untuk menyembuhan masyarakat, maka
bagi Growtoski, Artaud dengan penampilannya harus “menjadikan penyakit
masyarakat sebagai dirinya.
Hal
ini mengungkapkan bahwa analisis terhadap penyakit Artaud akan memberikan
kepada kita pemahaman tentang penyakit masyarakat yang sebenarnya. Seperti yang
ditulis Growtoski tentang Artaud. “Kekacauan dirinya adalah gambaran otentik
dunia. Dengan demikian, analisis terhadap penderitaan Artaud mengungkapkan tiga
kondisi mendasar tentang penyakit masyarakat: ketidakmurnian, ketenangan,
ketidaktahuan, dan fragmentasi baik pada diri seseorang dan masyarakat.
Artaud
mengajarkan kita suatu pelajaran yang berharga yang tak mungkin kita tolak.
Pelajaran itu adalah tentang penyakit, Artaud yang malang ini sebenarnya
mengidap Paranoia, semacam penyakit gila karena ketakutan atau karena
kekecewaan. Peradaban bisa ditimpa penyakit schizophrenia,
suatu perpecahan antara inteligensia dengan perasaan, tubuh dengan jiwa.
Masyarakat tidak bisa membiarkan Artaud untuk sakit dalam cara yang aneh.
Mereka merawatnya, menyiksanya dengan electro
shock, mencoba untuk menjawabnya
dengan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang diskursif atau
serebral yaitu menempatkan penyakit masyarakat kedalam dirinya.[10]
7. Jerzy
Growtosky dan Teater Miskin
Semboyan
dari Jerzy Grotowski yang terkenal ialah "Inti teater adalah Aktor,
perbuatan-perbuatannya dan apa yang dia dapati". Jerzy Growtosky “hanya
membutuhkan aktor” karena itu teater ini disebut teater miskin. Jerzy Growtosky
menganggap setting panggung, kostum dan lain-lain tidak dibutuhkan karena akan
mampu mempertunjukkan teater yang baik dengan keterampilannya dalam seni peran.
Satu
hal yang dapat ditangkap dari Grotowski ialah teater itu aktor. Oleh sebab itu,
untuk membangun suatu pertunjukan yang baik, sebenarnya hubungan antara aktor
dengan penonton benar-benar harus diperhatikan. Namun, seperti biasa, ada
"sekat" yang membatasi antara penonton dan aktor. Aktor benar-benar
merefleksikan diri dalam peran, agar dapat dinikmati oleh penonton sehingga
menimbulkan stimultan untuk ditonton kembali oleh penonton. Beberapa teknik
latihan Teater versi Jerzy Grotowski banyak yang memaksa aktor harus
mengeluarkan seluruh ekpresi yang bisa dilakukan. Teknik latihannya malah
seperti permainan. Persiapan diri pelaku menurut Jerzy Grotowski merupakan cara
dan media pengungkapan jati diri pelaku demi mempengaruhi katarsis penonton.
Dinamika ini yang disebut dengan skoring, yaitu pertemuan antara tubuh pelaku
dengan gerak dan vokal yang ditujukan untuk berkomunikasi dengan penonton.
Konsep
yang diusung oleh Grotowski ini dikenal sebagai “Teater Miskin” (Poor Theatre).
Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor,
ketimbang "kekuatan" sutradara. Dalam hal ini di anggap sebagai
sebuah lecutan. Agar tidak "manja" untuk membuat sebuah pertunjukan
"mewah" dengan balutan lighting, tata panggung dan lain-lain. Teater
itu aktor. Tentu untuk mengalahkan kemewahan itu, Teater miskin harus
mengandalkan kekuatan dari aktor-aktornya. Hal ini dianggap dapat terus
berkembang seiring waktu berjalan, hal yang dinamakan proses.
Menuju
Teater Miskin mengupas pemikiran tokoh teater terkemuka dunia Jerzey Growtosky
mengenai konsep teater eksperimentalnya yang secara kreatif dinamainya “Teater
Miskin” (Poor Theater). Dengan menghilangkan “bumbu-bumbu” berlebihan dalam
proses penyatuan tersebut, Growtosky sampai pada konsep tentang “Teater Miskin”.
Teater
miskin meninggalkan make up, hidung palsu, perut bunting dengan ganjalan
bantal, pokoknya segala sesuatu yang dipakai oleh aktor dikamar rias sebelum
pertunjukan. Teater miskin menemukan bahwa adalah sempurna secara teaterikal
bagi pemeran bila ia mengubah tipe yang satu ke tipe yang lain, watak yang satu
satu ke watak yang lain, siluet yang satu ke siluet yang lain sementara
penonton memperhatikan dalam kondisi yang miskin, dengan mempergunakan hanya
tubuh dan keahliannya.[11]
Teater
miskin mengurangi unsur-unsur plastis yang mempunyai arti sendiri dan mencoba
memaparkan sesuatu yang berdiri sendiri untuk setiap aktivitas sang aktor yang
semuanya menumbuhkan kreativitas aktor untuk obyek-obyek yang paling elementer
dan nyata. Dengan mengontrol penggunaan geraknya, aktor dapat “mengubah” lantai
menjadi laut, sebuah meja menjadi sebuah kursi pengakuan dosa, sepotong besi
menjadi teman atau lawan bermain, dan lain-lain.
Teater
miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam.
Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi
mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan
utama hidup ini. Namun rasa puas terhadap cara-cara kerja seperti itu memang
besar. Sang aktor yang berada dalam proses disiplin khusus dan pengorbanan
diri, penetrasi diri dan pembentukan diri, tanpa takut dan ragu berjalan
melewati batas-batas normal yang dapat diterima akan mencapai semacam
keharmonisan batiniah dan ketenangan pikiran. Ia akan menjadi sehat raga dan
piiran dan jalan hidupnya akan lebih normal dibandingkan aktor-aktor pada
teater Kaya.[12]
Jika
seseorang dapat menerima kemiskinan ke dalam teater dan membuang segala sesuatu
yang tidak pokok bagi teater maka akan tampak bagi kita apa yang menjadi tulang
punggung daripadanya, juga kekayaan-kekayaan terpendam yang terletak dalam
sifat yang paling alamiah dari bentuk seni.
8. Teater
Ketiga dan Eugenio Barba
Teater
ketiga yang direkomendasikan Barba, mencoba untuk bereksperimen dengan
penonton, dimana Barba membuat jaringan aktor dan grup. Setiap grup bergantian
menonton pertunjukan lain atau yang diistilahkannya sebagai “barter artistik”.
Dengan cara itu, sebuah grup dapat mengatasi soal artistik, semisal kekurangan
aktor dan sebagainya, selain itu juga dapat mengatasi biaya produksi, karena
dimasa itu teater masih belum bisa dijual di gedung-gedung pertunjukan berkelas
dengan fasilitas pentas yang memang tidak ada.
Maka grup teater ini menjadi syarat utama bagi Barba.[13]
Oleh
karena itu, teater Barba ini lebih memilih datang ke suatu pemukiman untuk
menjadi tuan rumah sekaligus membentuk grup teater yang akan membuat sebuah
pertunjukkan dengan maksud agar masyarakat menyadari dan mendapatkan kesempatan
atau pengalaman untuk berperan sebagai orang lain.
9. Peter
Brook dan Mahabrata
Brook
seorang seniman dan intelektual kelahiran inggris dengan reputasi International
menguraikan penjajahannya atas kesemestaan nilai kemanusiaan yang melampui
batas-batas kebudayaan serta perbedaan bangsa dan bahasa. Sebagai seorang
kreator dan pemikir, belasan lakon teater (sebagian besar dari karya
Shakespeare), 4 film fenomenal (termasuk diantaranya The Mahabrata yang banyak
dibicarakan itu) dan pentas opera yang disutradarainya mengukuhkan otoritas
Brook atas dunia yang digelutinya.
Lewat
perspektif teater, film dan opera, dengan cerdas dan imajinatif Brook berbicara
tentang saling pengertian antara Timur dan Barat yang dibungkusnya dengan
perbincangan mengenai konsep dharma, nilai-nilai filosofis Mahabrata, makna
dibalik topeng Bali, tentang pementasan Afrika, tentang orang-orang Aborigin,
hikayat sufi klasik hingga gagasan mengenai perlunya sebuah culture of link.
Peter
Brook mengatakan bahwa pengalaman berteater sebenarnya adalah menghubungkan dua
bentuk kenyataan yaitu dunia imajiner dan dunia keseharian penonton (Mitter,
2002: xx). Konsep ini melahirkan teori `dua dunia` yang dipahami bahwa
aktivitas pemain secara fisik yang aktif dan konvensi penonton yang pasif
bertemu dalam sebuah permainan, dan permainan ini mampu memberi pengalaman
khusus bagi keduanya. Permainan ini oleh Peter Brook disebut sebagai The
Shifting Point. The Shifting Point (perpindahan titik tekan), sebuah permainan
menghasilkan pengertian adanya ragam kebenaran. Kebenaran selalu bergerak, satu
kebenaran akan mengungkap adanya kebenaran yang lain. Kebenaran yang beragam
menyebabkan seseorang mampu melihat berbagai perspektif dalam sudut pandangnya.
(Yudiaryani, 2005: 309)
Aktor Brook diharapkan merasakan orisinalitas
emosi dramatik dan dengan demikian mereka mampu memantapkan diri bahwa mereka
adalah tokoh yang mereka mainkan. Namun gaya yang dimainkan Brook untuk
menemukan titik temu antara aktor dan tokoh sangat berbeda dalam dua produksi
tersebut. Brook menyatakan pada grupnya bahwa “pelatihan adalah mencari makna
dan kemudian membuatnya bermakna.[14]
Mahabrata
merupakan karya terbesar kemanusiaan dan seperti semua karya besar maka
Mahabrata berisi ekspresi pemikiran Hindu yang paling dalam dan selama lebih
dari dua ribu tahun Mahabrata telah memasuki dengan akrab kehidupan India
sehari-hari dan bagi jutaan manusia watak-watak yang ada dalam cerita itu
begitu hidup abadi begitu nyata seperti anggota keluarganya sendiri, dengan
siapa mereka berbagi pertengkaran dan persoalan serta pertanyaan-pertanyaan
dalam hidup ini.
Kisah
Mahabrata dikenal dari segi karya sastra adalah tampil sebagai tontonan. Namun
Mahabrata yang berasal dari India yang berumur lebih dari 20 tahun ini telah
mengguncang dunia lewat tangan Peter Brook.
Sutradara teater kenamaan dengan reputasi international asal Inggris ini
menggunakannya sebagai sumber karya.
Mahabrata
memotong dan mencabik-cabik semua yang lama. Konsep-konsep tradisional Barat
yang didasarkan pada hal-hal yang tidak penting dan kemerosotan akhlak
Kristiani dimana yang baik dan dosa diasumsikan sebagai bentuk-bentuk yang
paling primitif. Dan hal itu mengembalikan lagi problem yang luas, penuh
kekuasaan dan penuh cahaya, ide konflik yang tak putus-putus didalam diri
setiap orang, setiap kelompok, setiap pernyataan dunia.[15]
Dalam
sejumlah wawancara, Brook menyatakan ia punya obsesi dengan epos besar, Brook
terpesona pada nilai-nilai Timur Mahabrata
katanya adalah cerita India. “Tetapi lewat kebesarannya ini adalah juga
cerita tentang umat manusia”. Mahabrata yang terdiri dari 90 ribu kuplet,
disebut-sebut merupakan karya Bhagawan Wijasa. Kisah keluarga Bharata ini punya
batang pokok berupa permusuhan abadi eluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa.
Epos besar ini mempunyai unsur dongeng, legenda, kepahlawanan dan ajaran moral.
Pendeknya mencoba memuat segala sifat dan perbuatan manusia.
Sutradara
kenamaan Peter Brook melakukan penyulingan esensi kisah besar di India
merupakan realitas yang hidup sementara bagi sebagian masyarakat kita menjadi
pandangan hidup. Dalam hal ini kekomplekan masalah, moral cerita yang tidak
hitam putih, pertanyaan, renungan, tidak hadir sepenuhnya. Padahal epos
Mahabrata lebih menghadirkan sejumlah pertanyaan daripada jawaban gambalang.
Suatu
kajian tentang pengaruh Brecht pun tidak membantu: Le Mahabharata tidak hanya menggunakan seperangkat besar gaya lebih
dari yang digunakan Brecht, namun menanam setiap gaya dengan integritas otonom
seperti yang tak mampu dilakukan Brecht. Hubungan linier antara emosi dengan
alienansi dalam Brecht, berbeda dengan sekumpulan gaya yang menjadi ciri khas
kerja Brook Le Mahabharata. Mengingat bahwa kerja Brecht adalah menghasilkan
dua titik pertentangan, Le Mahabharata menyenangi penggunaan konvensi dan
teknik yang berlimpah. Maka fleksibelitas gaya Brecht pun tidak mampu
menjelaskan ensiklopedia Brook.[16]
10. Robert
Wilson dan I La Galigo
Teater
I La Galigo ini menyuguhi penonton pentas visual, tari dan puisi yang
memanfaatkan mitologi Bugis berusia lebih dari 700 tahun. Dengan mengandalkan
naskah panjang dari Sulawesi Selatan, teater I La Galigo tertolong oleh sebuah
alur yang relatif kokoh dan utuh yang menceritakan ulang dan menvisualkan mitologi
itu diatas pentas. Dan Robert Wilson menghadirkan kisah generasi pertama
manusia didunia, dan penegasan bahwa
menjadi manusia lebih baik daripada menjadi dewa-dewa, bahwa dunia lebih
penting dari langit. Adegan asal mula manusia dan dunia itu, dengan tubuh-tubuh
gelap yang melangkah pelan dan miring mengingatkan antara lain pada sosok dewa
dan manusia di dinding piramida Mesir kuno. Pentas I La Galigo ini tampak magis
tapi diisi dengan sebuah eksistensial yang sangat modern yang menghadirkan
sebuah tegangan potensial yang punya energik.
Yang
berharga dari Robert Wilson adalah bahwa selain menggelar upaya perajutan
tambang genesis, proyek ini lebih menonjol ke derita dan kebingungan dari
perjalinan tambang, alhasil seperti bisa ditebak, pentas yang tak jarang bikin
gaduh oleh kata-kata yang bersahut-sahutan. Pentas seperti ini terlihat sebagai
persekongkolan dalam permainan artistik yang tampak tak peduli pada daya cerna
penonton. Penonton yang mengharapkan sebuah teks yang jadi dan utuh memang tak memperolehnya dari pentas
ini, mereka ditantang menyusun sendiri teks tersebut. Dengan kata lain, Robert
Wilson memang lebih mirip khaos sebelum kosmos, atau lebih tepat, sebuah
transisi dari khaos ke kosmos.
11. Teater
interkultural dan Patrice Palvis
Sejak
tahun 70-an, diskursus teater di forum-forum internasional mulai diramaikan
dengan diskusi dan perdebatan tentang teater interkultural. Terlibat dalam
suatu tedensi yang terus meningkat untuk mengadopsi elemen-elemen dari
tradisi-tradisi teater asing ke dalam produksi karya-karya teater.
Pencarian
atas pengalaman teater interkultural telah menyibukkan International Centre for
Theatre Research. Merujuk pada Patrice Palvis dalam The Intercultural
Performance Reader. Dalam pengertian yang paling ketat (teater interkultural)
menciptakan bentuk-bentuk hibrida dari pencampuran yang sedikit banyak secara
sadar dan sukarela dari tradisi-tradisi pertunjuan yang dapat dilacak di
wilayah-wilayah kultural yang berbeda (Pavis, 1996:8)
Praktik
teater interkultural mendapatkan kritik atas proyek-proyek interkultural yang
kebanyakan terkait dengan isu relasi kuasa dalam proses adaptasi dan apropriasi
yang dilakukan. Dalam konteks ini, seluruh rentang praktik teater interkultural
juga memapar proses adaptasi dalam teater dengan bentuknya yang lebih kompleks
dan juga memapar suatu kenyataan fundamental lain atas teater.
12. Teater
kaum tertindas dan Augusto Boal (Teater Forum)
Teater
Kaum Tertindas
Menurut
Boal, kritis terhadap keadaan dan merubah k eadaan tersebut. Ini tidak saja
media utk mencerahkan tp utk mendorong orang berbuat sesuatu.
Konseptual
secara dramaturgi yang dikenal yaitu teater-teater yang tak terlihat. Yang
dilawan boald melawan prinsip-prinsip
kapitalisme yang tidak dibutuhkan. Maksudnya agar teater tidak sekedar hiburan tapi sebagai
terapi bagi penonton dan setidaknya menguntungkan bagi penonton. Pelatihan
aktor Boal bahwa kehidupan sehari-hari itu akting, setiap orang bisa
menampilkan sesuatu yang berbeda bahwa setiap orang bisa melakukan hal berbeda
ketika sendiri dan berhadapan dengan orang lain.
Akting
dalam konseptual Boal memakai akting natural.
Konsep
Boal salah satunya teater forum, yaitu mendatangi daerah yang memiliki banyak
konflik yang dianggap merusak ekosistem/alam, sehingga Boal membuat pertunjukan
teater dengan permasalahan tersebut dengan harapan penonton didaerah tersebut
menyadari permasalahan yang ada didaerah mereka dengan cara mengajak masyarakat
tersebut untuk bermain langsung didalam pertunjukan teater tersebut.
Teater
kaum tertindas dapat menjadi ruang sehingga masyarakat dapat menyadari dan
merasakan permasalahan yang dihadapi daerahnya. Bagi Boal semua orang adalah
aktor, ia harus mampu memprovokasi, yang mampu mempengaruhi orang lain, itu
tugas aktor yang dimaksudan Boald.
Orang
yang kaya terkesan tamak bagi orang miskin, tapi orang mikin terlihat
menyedihkan bagi orang kaya itu. Sebenarnya kesan itu bisa salah tergantung
individual menghadapinya.
Menurut
Boal itu problem manusia, karena mereka hanya melihat kesan dan tidak berbalik
keasalnya. Teater Boal mengembalikan keadaan diri sendiri.
Boal
adalah seseorang yang menyadari bahwa fungsi teater ini adalah pendidikan dan
pengajaran bukan sekedar hiburan. Oleh karena itu teater tidak terlihat Boal
dianggap provokator, dan mendorong masyarakat didorong untuk memahami
permasalahan daerahnya. Yang diingin dilwan Boal adalah budaya diam dan Boal
meyakinkan masyarakat kaum tertindas bahwasanya ketakutan itu hanyalah gagasan.
Maka dari itu Boal menolak tidak adanya penonton, karena setiap orang itu akan
jadi aktor ketika ia menyaksikan pertunjukan tersebut.
Pelatihan
aktor Boal disebut Publik Speaking. Yang dimunculkan aktor-aktor Boal adalah
orang yang mempunyai tujuan hidup dan yang berjuang untuk hak nya.
13. Teater
Poskolonial.
Teater
poskolonial berasal dari negara-negara yang dijajah, teater poskolonial ini
berusaha menunjukkan bahwa dibalik pembelajaran teater kolonial ini terendap
ideologi yang menjadikan kita sebagai orang-orang yang dijajah. Teater
poskolonial teater-teater yang membuka pengalaman dibawah kolonial.
Dramaturginya
dibagikan 4 kelompok
1. Pementasan
teater yang menunjukan pengalaman selama masa kolonial atau masa penjajahan.
2. Pementasan-pementasan
teater yang menunjukkan regenerasi atau keterlanjutan teater-teater yang
diajarkan kolonial.
3. Teater-teater
yang menunjukkan atas kesadaran bahaya kolonial.
4. Teater-teater
yang membongkar ideologi kolonial.
Teater
pertama yang menunjukkan teater kolonial diumumkan oleh teks lakon, contohnya
ketoprak, randai dan yang lainnya yang menceritakan kisah tentang masa
penjajahan dulu.
Teater
kedua yaitu teater Hibrid bahwasanya kolonial yang membawa teater tersebut ke
pribumi yang bertujuan untuk mempengaruhi kaum pribumi tersebut. Artinya,
adanya pengaruh kolonial yang masuk kedalam teater-teater tradisional
Indonesia. Itu menunjukkan bahwasanya orang pribumi dapat mengembangkan teater
kolonial tersebut.
Teater
ketiga yaitu kolonialisme bentuk baru, yang mengkabolarasi pertunjukan dari
orang pribumi dengan kolonial.
DAFTAR
PUSTAKA
Esslin
Martin. Teater Abssurd. PENERBIT PUSTAKA BANYUMILI. 2008
Dedepramayoza.blogspot.com/?m=1
Sumardjo
Jakob. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. PENERBIT ANGKASA BANDUNG. 2003
Mitter
Shomit, Stanilavsky, Brecht , Grotosky, Brook. Sistem Pelatihan Lakon. PENERBIT MSPI DAN ARTI. 2002
Brook
Peter. Percikan pemikiran tentang teater, film dan opera. PENERBIT MSPI DAN
ARTI. 2002
Growtosky
Jerzey. Menuju Teater Miskin. PENERBIT MSPI DAN ARTI. 2002
Soemanto
Bakdi. Jagat Teater. PENERBIT MEDIA PRESSINDO. 2001
[1] Bakdi
Soemanto. Jagat Teater (Yogyakarta:
Penerbit Media Pressindo, 2001)270
[2] Jakob
Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2003)80
[3] Shomit
Mitter. Brecht dkk. Sistem Pelatihan
Lakon ( Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)66
[4] Jakob
Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat.
(Bandung: Penerbit Angkasa, 2003)97
[5] Shomit
Mitter. Stanilavsky dkk. Sistem Pelatihan
Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)xi
[6] Martin
Esslin, Teater Absurd (Jawa Timur:
Penerbit Pustaka Banyumili, 2008)i
[7] Bakdi
Soemanto. Jagat Teater (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2001) 142
[8] Jakob
Sumardjo. Ikhtisar Sejarah Teater Barat (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2003)113
[9] Peter
Brook. Percikan Pemikiran Tentang TEATER,
FILM & OPERA (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)27
[10] Jerzy
Growotosky. Menuju Teater Miskin
(Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)47
[11] Jerzy
Growtosky. Menuju Teater Miskin. (Yogyakarta:
Penerbit MSPI dan arti, 2002)9
[12] Jerzy
Growotosky. Menuju Teater Miskin.
(Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)76
[13] Dede
Pramayoza. weblog. Teater dan Dimensi
Sosialnya; Beberapa Kacamata.
[14] Shomit
Mitter, Peter Brook dkk. Sistem Pelatihan
Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)34
[15] Peter
Brook. Percikan Pemikiran Tentang TEATER,
FILM & OPERA (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)119
[16] Shomit
Mitter, Peter Brook dkk. Sistem Pelatihan
Lakon (Yogyakarta: Penerbit MSPI dan arti, 2002)189
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar