Senin, 20 Mei 2013

MEMANG HIDUP INI

 Sebuah keyakinan dalam menjalani dan mencari arti hidup, kedewasaan perlahan mengajarkan arti masalah dalam hidup. Keras, kejam, keji dan penuh sandirawa yang menghancurkan! Inilah hidup, setiap jiwa tak mampu merahasiakan kebiasaannya. Menuju 19 tahun, saya bukan lagi anak kecil yang merengek dipelukan orang tua, saya bukan lagi anak kecil yang selalu bercerita tentang dongeng.

Saya sudah beranjak dari kebahagian nyata yang pernah ada.  Pada usia 11 tahun Tuhan mulai memberikan tahap pendewasaan dan arti kehilangan dalam hidup saya. Ini bukan masalah saya masih membutuhkan dan masih atau tidaknya saya bergantung kepada ranting-ranting pada Pohon Tua itu. Katanya setiap orang akan mengalami masa-masa ini. Masa disaat dimana ada pertemuan akan ada perpisahan. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana rasanya kehilangan orang yang menjadi tumpu dalam kehidupan kita. Saya tidak mampu membayangkan. Tapi saya merasakan, tidak lagi membayangkan, ini yang terjadi, ini yang saya alami.

Saya juga pernah dengar “Tuhan memberikan musibah agar kita kuat menghadapinya dan ini bukti Tuhan masih memperdulikan kita”. Kadang saya menggerutu dengan keadaan ini! Tuhan yang manakah yang memperdulikan saya? Tuhan yang manakah yang memberikan keadilan hidup didunia ini? Gadis kecil yang masih berumur 11 tahun, yang sangat berharap dengan pohon tua diseberang sana? Pohon tua yang sudah runtuh!

Saya dilahirkan pada 11 juli 1994, tepat 18 tahun yang lalu. Dari seorang perempuan yang cantik dan laki-laki yang gagah. 11 tahun saya merasakan kebahagian yang lebih dari ini, dengan sikap yang manja dan merengek merayu. Sarapan pagi bersama sebelum berangkat sekolah dengan minuman ginseng kesukaan beliau, menunggu mereka depan rumah saat pukul 6 sore dan bercerita tentang masa depan dimalam hari, sangat indah, cukup panjang untuk diceritakan.

Ini kesedihan yang mendalam dalam hidup saya, ini kecintaan yang paling dicintai, ini tangisan anak dan ibu ketika mengantarkannya kepada keabadian. Ibu tidak lagi mempunyai pendamping hidup, anak tidak lagi memiliki ranting tempat bersandar. Keabadian perlahan mulai menjemput kebahagian didunia nyata, menunggu kehidupan abadi setelahnya. Tapi meninggalkan tangisan diatas batu nisan yang tertulis namanya. Kami sempat memberontak, logika mulai lenyap seketika, kepedihan mendalam merasuki jiwa. Siapa yang patut disalahkan? Siapa yang pantas menanggung semua ini? Sedangkan semua yang hidup akan mati! Kehidupan abadi menunggu, waktu hanya mempermainkan setiap kebahagian, waktu hanya menghilangkan sebuah kehidupan dimasa kemarin.

Jangan menangis nak, ceritamu masih panjang. Tulislah setiap kebahagian dan kesedihanmu untuk diceritakan kepadanya nanti. Dia memang sudah pergi, tapi jiwanya tetap ada dihati kita. Berdoalah untuknya nak. Percaya, suautu saaat kita akan berkumpul lagi disana. Selamat jalan Ayah~ 11 januari 2006. Pohon Tuaku

;;

By :
Free Blog Templates