Sabtu, 16 Februari 2013

DALAM DEKAPAN POHON TUA (II)

     Wanita itu datang mendekat, ada raut wajah gelisah diraut mukanya. Menyapaku dengan lembut, dengan air mata dipipinya, matanya sayu, senyumnya memudar. Tampak ada sepotong harapan dari binar matanya.
"Sekarang juga kita ke rumah sakit" wanita itu mulai membuka suara  dengan intonasi lembut tapi menyesak
"Tapi" kalimat awalkupun terhenti
"Cepat, kita harus siapkan barang-barang Ayahmu" Semangatnya memuncak, dia tahu. Seharusnya ayah dibawa kerumah sakit secepatnya. Aku menghela nafas lega, sedikit ada ketenangan dalam jiwa, adanya jawaban dalam benakku. Secepatnya aku bergegas, menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan.

     Ayah dirawat di rumah sakit, infuspun sudah melekat ditubuhnya yang lemah, mengalir dalam nadi-nadi yang menyelusuri seluruh tubuhnya. Senyumnya masih seperti dulu, senyum itu adalah senyum yang selalu mencairkan rasa ketakutanku.

“Panas” desahnya pelan
Aku bergerak kesudut jendela, perlahan membuka pintu jendela yang dihiasi dengan gorden. Senyum ayah selalu begitu, senyum yang menyemangatiku dalam setiap langkahku. Matanya tertuju pada segelas air di atas meja, aku mengerti. Dia haus, aku tersenyum melihat isyaratnya  yang lucu itu, kita tertawa
     “ini minuman ayah” dengan menyodorkan minuman
     “iya nak”

     Aku mengintip keluar jendela, perawat-perawat tampak sibuk melayani pasiennya, Tampak dari kejauhan ibu sedang antri di apotik.     

     “Masih lamakah ayah sembuh” pikirku.
Sudah seminggu kita disini, aku melihat tangisan ibu setiap malam, walaupun dibaliknya dia berpura-pura tegar, aku salut, betapa besarnya kesetiaan ibu pada ayah. Kegigihannya agar ayah cepat sembuh, betapa bangganya aku memiliki mereka, begitu bahagianya.

    “Langit-langit ruangan ini terlihat sangat membosankan, ayah ingin pulang, ayah sudah tidak betah lagi di tempat ini” suara ayah menggelisah

Tatapanku kosong, entah apa yang aku pikirkan. Ayah belum sembuh, sakitnya masih sama. Wajahnya masih pucat, badannya sangat lemah tak sekuat dulu lagi.
Dalam kehampaan ini aku merasa secercah sinar yang berbinar itu memudar, menghilang dari pandangan, terhapus segores harapan semu.

     “kita pulang setelah ayah sembuh” ibu duduk disamping ayah yang terbaring, jemarinya memegang lembut tangan ayah. Memberi sepotong harapan yang tak pasti.

     “aku muak dengan tempat ini” ujar ayah mengeras.

     Ayah mempercepat gerakan tetes infusnya, hal itu terlihat janggal, sedikit berbeda dari biasa. Mungkin saja, ayah sudah bosan dengan tempat  ini. Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku, memulai percakapan awal dengan Tuhan, air mataku keluar begitu saja, ada beban dalam perasaanku, meresapi seluruh tubuh dan menghancurkan kesabaranku.

     “Tuhan, tidakkah Kau lihat tubuh yang tak berdaya yang terbaring disudut ruangan itu? Tidakkah kau lihat wanita lemah yang berpura-pura tegar bersama laki-laki itu? Dimana sosokmu yang selalu kami Esakan ini yaTuhan? Kau yang Maha Pengasih, Maha penyanyang, Maha Pemberi. Tunjukan keEsaanMu?! “tangisku menjadi-jadi” tidak ada jawaban dariNya.

     Matahari mulai menampakkan dirinya, menyapaku dengan lembut, memberi sedikit harapan penyemangat pagi. Tapi tetap saja, hari ini masih sama dengan kemarin. Tuhan masih belum menjawab pertanyaanku, percakapanku denganNya seolah-olah hanya nyanyian anak kecil tanpa isyarat.


     Kulihat ayah tidak lagi terbaring ditempat tidurnya, "ayah kemana, apa mungkin ayah ke kamar mandi" pikirku.

Tapi tetap saja ada yang mengganjal dibenakku, ada alun-alun pertanyaan yang melintas dipikiranku. Aku berlari keluar, menuju gerbang rumah sakit, kulihat wajah ibu sembab,dia sedang mengurus adsministrasi.
     "mana ayah bu?" percakapan awalku di pagi itu
     "ayah pergi tanpa seijin ibu nak" ibu menangis, aku merasakan adanya tekan-tekanan batin pada diri ibu

     Tanpa pikir panjang aku berlari menyelusuri setiap sudut rumah sakit, berharap senyum ayah masih terpancar dengan lembut. Kulihat sosok laki-laki dengan tubuh lemah berdiri ditepi jalan, aku mengenal baju itu, aku mengenal wajahnya, begitu dekat. iya itu Ayah.

     "Ayah" sahutku dengan keras
Sosok itu mulai menjauh, menghilang dari tatapanku, "kemana ayah"? aku menangis sejadi-jadinya. Ada beban berat dalam batinku.

~bersambung




0 komentar:

By :
Free Blog Templates